Murah Hati Seperti Yesus

Fr. Yohanes Paulus Kevin Fatli
6 min readOct 9, 2023

--

Siapa Yesus bagi kita?

Saya sendiri paling sering melihat Yesus sebagai gembala, mungkin karena saat saya katekumen dulu, Mazmur 23 Tuhanlah gembalaku adalah salah satu lagu yang paling sering kami nyanyikan sebelum mulai belajar.

Tentu ada begitu banyak jawaban atas pertanyaan ini, entah itu berasal dari buku-buku yang kita baca atau mungkin pengalaman pribadi kita dengan Yesus. Ada yang melihat Yesus sebagai raja, guru, sahabat, dan lain sebagainya. Dan, tentu, semua ini benar.

Dalam perumpamaan tentang orang Samaria yang baik hati, Yesus ingin memperkenalkan diri-Nya kembali kepada kita. Ia ingin memperkenalkan diri-Nya sebagai penyembuh dan penebus.

Katekismus Gereja Katolik №546 mengajarkan bahwa Yesus dan kehadiran Kerajaan Allah di dunia adalah inti dari semua perumpamaan. Tentu, kita bisa mengambil banyak nilai-nilai moral dari perumpamaan-perumpamaan. Misalnya lewat perumpamaan orang Samaria yang murah hati tadi. Perumpamaan ini bahkan kita sudah tahu kesimpulannya hanya dari membaca judul perikopnya, yaitu kita diajak untuk menjadi murah hati seperti si orang Samaria.

Namun, seperti yang telah diajarkan Katekismus, perumpamaan itu lebih dari sebagai suatu ajaran moral. Lewat perumpamaan yang Yesus berikan, Ia ingin mengajarkan kepada dunia tentang diri-Nya sendiri dan kehadiran kerajaan-Nya di dunia.

Yesus memulai perumpamaan ini dengan suatu detail yang penting, yang akan langsung disadari oleh orang Israel di zaman itu. Yesus berkata, “adalah seorang yang turun dari Yerusalem ke Yerikho.”

Reruntuhan tembok tua dari Kota Yerikho. Credit: Daniel Case

Kalau sekarang kita melihat di Wikipedia, Yerusalem berada 754 meter di atas permukaan laut, sedangkan Yerikho berada 258 meter di bawah permukaan laut. Ada perbedaan yang sangat signifikan di antara Yerusalem dan Yerikho. Kalau kita mengilustrasikan, mungkin perjalanan dari Yerusalem ke Yerikho seperti tergelincir dari atas ke bawah, seperti naik perosotan dari atas ke bawah. Dari yang tinggi, masuk ke yang rendah.

Dalam makna spiritualnya, Yerusalem juga selalu dilihat sebagai kota suci. Sampai sekarang pun, kita menyebut surga sebagai Yerusalem Baru. Sedangkan, kebalikannya, Yerikho identik dengan keberdosaan. Orang-orang Yahudi di bawah pimpinan Yosua, harus merobohkan tembok Yerikho terlebih dahulu sebelum masuk ke tanah terjanji. Di Perjanjian Baru, Yerikho juga menjadi tempat Yesus menyembuhkan Bartimeus, si buta. Kata “buta” yang digunakan dalam bahasa Yunani “tuphlos” yang artinya diselmuti asap. Kata ini juga dapat digunakan untuk menyatakan kebutaan secara rohani. Mata hati kita diselimuti asap, sehingga tidak bisa melihat kebenaran. Katekismus mengajarkan bahwa buta rohani disebabkan oleh keragu-raguan iman yang dipelihara dengan sengaja.

Karena itu, latar tempat yang Yesus gunakan dalam perumpamaan ini menjadi penting, yaitu juga ingin menggambarkan manusia yang pergi dari atas ke bawah. Bapa-bapa Gereja melihat adanya relevansi antara cerita Orang Samaria ini dengan kisah kejatuhan manusia pertama. Ketika manusia jatuh dari persatuan dengan Allah ke dalam dosa. Dari tempat tinggi, ke yang lebih rendah.

Yesus melanjutkan perumpamaannya dengan apa yang terjadi pada orang itu. Ia dirampok dan dipukul oleh para penyamun sampai setengah mati. Hal yang sama telah dilakukan dosa terhadap manusia pertama. Kekayaan yang dimiliki dalam persatuan dengan Allah, semuanya dirampok oleh dosa dan kita ditinggalkan setengah mati. Kita belum sepenuhnya mati, tetapi setengah mati karena dosa itu. Dan kalau tidak ada yang menyelamatkan, mungkin saja kita mati.

Kadangkala kita melihat dosa hanya sebagai suatu hal yang salah, tidak melihatnya sebagai hal yang merampok dan membunuh kita. Dosa, terutama dosa berat, benar-benar membuat kita berada di ambang hidup dan mati.

Dalam kondisi setengah mati, orang itu butuh pertolongan. Yesus menyambung perumpamaannya dengan mengisahkan seorang imam dan seorang Lewi yang turun dari jalan yang sama dari Yerusalem ke Yerikho, dan ketika melihat orang yang setengah mati itu, mereka memilih jalan yang lain.

Dua tokoh sentral dalam peribadatan orang Yahudi ini menggambarkan hukum-hukum lama yang tidak cukup untuk menyelamatkan kejatuhan manusia dalam dosa.

Kemudian, datanglah orang Samaria melihat orang itu dan hatinya tergerak oleh belas kasihan. Orang Samaria selalu menjadi warga kelas dua di mata orang Yahudi zaman itu. Pandangan sebelah mata orang Yahudi ini, ingin menggambarkan juga yang terjadi pada Yesus, “Mungkinkah sesuatu yang baik datang dari Nazaret?”

Orang Samaria itu segera menolong dan menyirami luka-luka orang itu dengan minyak dan anggur. Minyak dan anggur memang umum digunakan di zaman itu untuk membersihkan luka. Namun, urutannya terbalik dengan yang dituliskan penginjil. Anggur pertama kali dituangkan atas luka untuk menghentikan pendarahan, kemudian minyak dioleskan untuk mengurangi rasa sakit dan mempercepat penyembuhan luka.

Minyak dan anggur juga ingin menyimbolkan dua cara Yesus menyembuhkan kita. Tentu kita ingat bahwa pada malam perjamuan terakhir Yesus mengatakan bahwa anggur adalah darah-Nya. Maka, yang Yesus maksud tentu lebih jauh daripada anggur yang digunakan untuk membalut luka, tetapi darah-Nya yang telah menyembuhkan kita dari dosa. Oleh bulir-bulir darah-Nya, kita disembuhkan. Pesan ini juga dibawa oleh Santo Paulus dalam bacaan kedua, “Ia mengadakan pendamaian oleh darah salib Kristus.”

Sedangkan, minyak merupakan tanda penyembuhan dan penyertaan Roh Kudus. Saya teringat tentang bilik pengakuan dosa di paroki saya, yang di atas pintunya ada gambar Roh Kudus. Di dalam ruangan ini, kita disembuhkan dari dosa, oleh Roh Kudus yang diterima para rasul dan diteruskan pada para imam yang telah diurapi dengan minyak. Selain itu, minyak juga digunakan dalam Sakramen Baptis, Sakramen Penguatan, Sakramen Tahbisan, bahkan sampai Sakramen Pengurapan Orang Sakit. Jadi, minyak adalah media yang Yesus juga gunakan untuk menyatakan kehadiran-Nya lewat sakramen-sakramen.

Setelah membalut luka-lukanya, orang Samaria itu membawanya ke penginapan. Ia mempercayakan orang itu ke penginapan dan membayar 2 dinar. Dengan membayar, orang Samaria itu menunjukkan bahwa orang yang setengah mati itu adalah tanggung jawabnya.

Poin ini menarik, ketika kita mengingat kembali bahwa Yesus ingin menyatakan diri-Nya sebagai penebus dalam perumpamaan ini. Penebus, atau dalam bahasa latin redimere, dibentuk dari dua gabungan kata, yaitu re yang artinya kembali dan emere yang artinya membeli. Jadi, secara harfiah, redimere artinya membeli kembali. Persis, itu lah yang Yesus lakukan untuk menyelamatkan kita. Ia menebus kita, membayar utang-utang dosa kita, dengan pengorbananNya di kayu salib.

Dan, terakhir, orang samaria itu mempercayakan kepada pemilik penginapan untuk menjaga orang yang telah ia selamatkan itu sampai ia kembali. Hal yang sama telah Yesus lakukan kepada kita. Ia mempercayakan kita pada Gereja, untuk terus merawat dan menjaga kita, sampai Ia datang kembali.

Kemudian, Yesus menutup perumpamaannya dengan satu pertanyaan kepada ahli taurat itu, “Siapakah di antara ketiga orang ini, menurut pendapatmu, adalah sesama manusia dari orang yang jatuh ke tangan penyamun itu?”

Si Ahli Taurat menjawab: “Orang yang telah menunjukkan belas kasihan kepadanya.” Dan Yesus berkata kepadanya dan kepada kita semua: “Pergilah, dan perbuatlah demikian!”

Perumpamaan Orang Samaria yang Murah hati ini, juga ingin membawa kita kepada renungan tentang Yesus yang jauh lebih murah hati lagi. Kita semua telah dirampok oleh dosa karena kejatuhan manusia pertama. Dan, seperti yang dilakukan orang Samaria, Yesus telah datang untuk menyembuhkan kita dengan darah-Nya dan sakramen-sakramen-Nya, membayar kita, dan mempercayakan kita pada penjagaan Gereja sampai Ia kembali.

Yesus juga ingin mengajak kita untuk meneladani apa yang telah Ia lakukan dengan berkata, “Pergilah dan perbuatlah demikian.” Seperti imam yang mengutus kita setelah perayaan Ekaristi, Yesus juga ingin mengutus kita untuk mengasihi sesama kita, seperti yang telah Ia lakukan, dan seperti yang telah orang Samaria dalam perumpamaan itu lakukan.

Mengasihi sesama bukanlah hal yang jauh untuk dilakukan, seperti yang dikatakan Nabi Musa dalam bacaan pertama. Kita tidak dituntut untuk berdonasi sekian puluh juta baru bisa dikatakan mengasihi sesama. Atau menjadi seperti Santa Bunda Teresa yang membaktikan seluruh hidupnya untuk orang miskin. Atau Seperti Santo Damian dari Molokai yang membaktikan seluruh hidupnya untuk orang kusta. Atau seperti Santo Maximilianus Kolbe yang menawarkan dirinya sebagai pengganti orang yang akan disuntik mati di Kamp Konsentrasi Auswitch.

Yesus hanya meminta kita untuk menjadi seperti orang Samaria itu. Menolong siapa saja yang ada dalam perjalanan kita. Sama seperti Yesus yang melihat kita begitu berharga sehingga Ia mau menyelamatkan kita, kita perlu belajar untuk melihat tiap-tiap sesama kita sebagai pribadi yang berharga juga.

Dengan berbuat demikianlah, kita akan memperoleh kehidupan yang kekal, yakni hidup bersama Allah dan bersama segenap malaikat dan para kudus-Nya, di Surga mulia.

Syukur kepada Allah.

--

--